Rabu, 07 Juli 2010

MEMBENTUK KEPRIBADIAN YANG ISLAMI
(SAKSIYAH ISLAMIYAH)


Oleh: Hamaydi Raja Sultan Harahap


Allah SWT memberikan manusia kelebihan berupa akal (aqliyah) dan juga jiwa (nafsiyah). Akal (aqliyah) berfungsi untuk memahami sesuatu hal. Dengan menggunakan akal, maka terjadilah proses berfikir. Manusia akan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang enak dan mana yang tidak enak dan lain sebagainya.

Dengan akal yang baik, maka terjadilah sebuah pemikiran dan selanjutnya akan membentuk sebuah tingkah laku yang baik pula. Akal lah yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk Allah lainnya. Karena akal adalah motor penggerak untuk membentuk suatu tingkah laku.

Selain akal (aqliyah), manusia juga diberikan jiwa (nafsiyah). Jiwa adalah sebuah aktivitas (activity) atau tingkah laku (behavior). Manusia akan hidup apabila memiliki jiwa. Karena eksistensinya bisa dilihat dari tingkah lakunya dalam memenuhi keinginan jiwa tersebut.
Manusia yang baik adalah yang mempunyai kepribadian yang Islami. Maksudnya adalah yang menggunakan akalnya untuk memahami sesuatu dalam frame berfikir sesuai Quran dan Sunnah.

Selain menggunakan akal, manusia juga harus bertingkah laku dan memenuhi kebutuhan jiwa secara Islami pula.


I. AKAL (AQLIYAH)


وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الأرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْهَارًا وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ جَعَلَ فِيهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
وَفِي الأرْضِ قِطَعٌ مُتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَاءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي الأكُلِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

“Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Qs. Ar raad: 3-4)

Manusia diberikan Allah SWT kelebihan berupa akal. Dengan akal, maka kita akan bisa berfikir (tafkir) dan pemikiran itu nantinya akan membentuk sebuah persepsi (mafahim) dan mempengaruhi tingkah laku kita. Sebagai contoh, tingkah laku kita akan berbeda antara orang tua dengan seorang pencuri. Hal ini dikarenakan kita mempunyai mahfum yang baik terhadap orang tua kita. Karena kita menyayangi mereka. Sedangkah terhadap pencuri, kita mempunyai mahfum yang negative, sehingga kita akan bersikap lebih hati hati atau bahkan menghindar.
Untuk mencapai sebuah pemikiran maka diperlukan empat persyaratan, yaitu:

1. Adanya fakta.
2. Dapat dijangkau panca indera.
3. Bisa diserap/dicerna oleh otak.
4. Adanya informasi terdahulu (ma’lumat tsabiqah).

1. fakta.
Pemikiran tidak bisa dilakukan apabila tidak adanya fakta. Bagaimana kita bisa memikirkan sesuatu obyek sedangkan obyek itu tidak pernah dilihat oleh manusia. Sebagai contoh, kita tidak bisa berfikir mengenai surga atau pun neraka. Hal ini karena fakta mengenai surga atau pun neraka tidak ada (tidak bisa dijangkau oleh akal kita). Sedangkan sebuah pemikiran yang tidak ada faktanya (ghoib), maka status hukumnya adalah sebuah imajinasi, rekaan, atau pun khayalan.

2. Panca Indera.
Fakta tersebut haruslah bisa terindera oleh kita. Apakah melalui indera menglihatan, penciuman, pendengaran, ataupun indera perasa kita.

3. Otak.
Proses berfikir akan terjadi apabila fakta yang tersedia bisa dijangkau oleh akal melalui panca indera. Penyerapan fakta tersebut akan diserap oleh otak untuk kemudian ditentukan status hukumnya. Sebagai contoh, selembar kertas adalah obyek yang bisa dijangkau oleh indera kita. Dari penyerapan itulah maka kita bisa menentukan/mengetahui bahwa obyek tersebut adalah kertas.

4. Informasi terdahulu (ma’lumat tsabiqah).
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Qs. Al Baqarah: 31-32)

“Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Qs. Al Alaq: 5)

Informasi terdahulu sangatlah penting dalam proses berfikir. Kita tidak akan mengetahui nama dan juga kegunaan kertas tanpa adanya informasi yang diberikan orang orang yang lebih terlebih dahulu tahu mengenai kertas.

Itulah proses berfikir (tafkir). Keempat syarat tadi adalah syarat mutlak untuk melakukan proses berfikir.

Dengan begitu, hal hal yang tidak bisa dijangkau oleh akal (panca indera) seharusnya tidak untuk kita pikirkan. Kita cukup mempercayainya (mengimani) saja karena hal tersebut ada didalam Al Quran maupun Sunnah Nabi.


II. JIWA (NAFSIYAH)

Jiwa adalah sesuatu yang harus manusia penuhi. Dengan adanya jiwa, maka manusia bisa melakukan aktvitasnya.

Kebutuhan jiwa pada manusia terbagi menjadi dua, yaitu kebutuhan jasmani (hajatul udlowiyah) dan kebutuhan naluri (ghorizah).

Kebutuhan jasmani datangnya dari dalam tubuh manusia (internal) dan apabila tidak dipenuhi (fulfill) maka akan menimbulkan penyakit bahkan bisa mengakibatkan kematian. Contohnya adalah, rasa lapar, haus, mengantuk, ingin buang hajat dll.

Sedangkan kebutuhan naluri datangnya dari luar tubuh kita (external). Kalau kebutuhan jasmani bersifat terbatas (limited), maka kebutuhan naluri sifatnya tidak terbatas (unlimited). Akan tetapi, kebutuhan naluri tidaklah menimbulkan kematian apabila tidak dipenuhi. Contohnya adalah kebutuhan untuk mempunyai harta benda, kebutuhan untuk berhubungan seks, dan lain sebagainya.

Potensi (potential) naluri manusia pada dasarnya hanya terbagi menjadi tiga bagian. Yaitu naluri mempertahankan diri (ghorizah baqo’), naluri mencintai lawan jenis (gharizah nau’) dan naluri mensucikan sesuatu hal (gharizah tadayyun).

1. Naluri mempertahankan diri (ghorizah baqo’)
Naluri manusia adalah selalu ingin mempertahankan diri dalam setiap keadaan dan situasi. Hal ini karena pada dasarnya manusia ingin terlihat eksis ditengah masyarakat. Dengan adanya potensi ini, maka manusia cenderung ingin kaya, punya rumah, kendaraan, hemat, kikir, berani dan lain sebagainya.

2. Naluri mencintai lawan jenis (gharizah nau’)
Manusia yang normal adalah manusia yang mencintai lawan jenisnya. Potensi ini adalah anugerah dari Allah SWT. Karena dengan adanya naluri ini, maka manusia akan mempunyai sifat sayang, iba, benci, ingin mempunyai keturunan dan lain sebagainya.

“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih”. (QS. Yusuf: 24)

3. Naluri mensucikan sesuatu hal (gharizah tadayyun).
“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudaratan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: "Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka".(Qs. Azzumar: 8)

Setiap manusia pasti mensucikan sesuatu. Apakah itu mensucikan Allah SWT, manusia (idola), pohon, patung (batu), matahari, bulan, bintang, api dan lain sebagainya.


III. KEPRIBADIAN ISLAM (SAKSIYAH ISLAMIYAH)

Seseorang yang memiliki kepribadian Islam (saksiyah Islamiyah) adalah yang selalu menggunakan akal dan juga jiwanya sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Sunnah. Dengan begitu, maka orang tersebut akan selalu berfikir, melihat dan bertingkah laku sesuai syariat Islam.

Proses berfikir sesuai akal yang Islami adalah yang selalu mengaitkan obyek bahwa itu adalah ciptaan Allah SWT. Dia yakin bahwa segala sesuatu yang menyangkut manusia (human), hidup (life) dan alam semesta (universe) adalah sifatnya tidak kekal. Sedangkan hal yang tidak kekal (terbatas) pasti bergantung pada sesuatu juga. Dengan begitu, kita akan mencapai pemikiran bahwa Allah SWT adalah Dzat yang kekal (azzali), Pencipta (Khaliq) dan Maha Pengatur (Mudabbir). Sebagai contoh, manusia adalah makhluk yang tidak kekal karena suatu saat pasti akan mati. Manusia membutuhkan nasi untuk hidup. Sedangkan nasi terbuat dari padi dan padi membutuhkan air untuk panen. Air datangnya dari hujan melalui proses awan….dan seterusnya sehingga sampailah kita pada kesimpulan bahwa segala sesuatu ujung ujungnya akan bergantung hanya kepada Allah SWT.

Sedangkan dalam pemenuhan kebutuhan jiwa (nafsiyah), kita pun tidak akan keluar dari koridor Islam. Dalam memenuhi kebutuhan jasmani maka kita akan menempuh jalan Islam. Seperti dalam memenuhi keinginan untuk makan, tentulah kita akan memakan makanan yang halal dengan bekerja ditempat yang halal pula.

Begitu pun dalam memenuhi kebutuhan naluri kita. Tentulah pula kita akan memenuhinya dengan cara yang sesuai Quran dan Sunnah.

Untuk memenuhi kebutuhan naluri mencintai lawan jenih (gharizah nau’) tentulah kita akan menikah terlebih dahulu karena itu adalah tuntunan Islam. Kita tidak akan memilih jalan untuk berpacaran ataupun berzina.

Begitupula dengan pemenuhan mensucikan sesuatu (gharizah tadayyun). Kita pasti hanya akan menyembah, mematuhi dan menjauhi larangan Allah SWT dan tidak menduakan Nya (syirik)
Kita pun akan menggunakan cara yang Islami pula dalam mempertahankan diri. Kita akan bekerja sesuai tuntunan syari’ agar kaya. Kita akan membayar zakat dan bersedekah agar Allah SWT selalu melindungi harta kita.


IV. PENUTUP

Bahwa akal adalah anugerah yang diberikan Allah SWT. Akal adalah motor penggerak manusia untuk bertingkah laku. Dengan akal, maka kita akan punya pemahaman untuk menentukan status hukum atas suatu perkara/hal.

Selain akal, Allah SWT juga memberikan manusia jiwa. Jiwa adalah kebutuhan yang harus kita penuhi. Pemenuhan kebutuhan jiwa inilah yang disebut tingkah laku. Dan sebagai muslim yang baik, maka kita harus bisa membedakan antara kebutuhan jasmani dan kebutuhan naluri.

Dua hal inilah (akal dan jiwa) yang dimiliki manusia. Untuk mencapai sebuah kepribadian Islam (saksiyah Islamiyah), maka manusia haruslah mengkombinasikan akal dan memenuhi kebutuhan jiwanya sesuai dengan syari’. Manusia haruslah berpegang teguh kepada Al Quran dan Sunnah agar bisa menjadi individu yang kuat dan berkarakter Islami.

Wallahu a’lam.

Dirangkum dari Halqah Hizbut Tahrir Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar