PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965
TENTANG
PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka pengamanan Negara dan Masyarakat, citacita
Revolusi Nasional dan pembangunan Nasional Semesta
menuju ke masyarakat adil dan makmur, perlu mengadakan
peraturan untuk mencegah penyalah-gunaan atau penodaan
agama;
b. bahwa untuk pengamanan revolusi dan ketentuan masyarakat,
soal ini perlu diatur dengan Penetapan Presiden;
Mengingat :
1. pasal 29 Undang-undang Dasar;
2. pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang Dasar;
3. penetapan Presiden No. 2 tahun 1962 (Lembara-Negara tahun
1962 No. 34);
4. pasal 2 ayat (1) Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN
AGAMA.
Pasal 1
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan
atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu
agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan
mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Pasal 2
(1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan
peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu
keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam
Negeri.
(2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau
sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat
membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut
sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat
pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam
Negeri.
Pasal 3
Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama
Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik
Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, Organisasi atau aliran
kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang,
penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari
aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Pasal 4
Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan
sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang
bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa."
Pasal 5
Penetapan Presiden Republik Indonesia ini mulai berlaku pada hari diundangkannya.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan
Penetapan Presiden Republik Indonesia ini dengan penempatan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 1965.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUKARNO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 1965
SEKRETARIS NEGARA,
MOHD. ICHSAN.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1965 NOMOR 3.
PENJELASAN
ATAS
PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965
TENTANG
PENCEGAHAN PENYALAH-GUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA
I. UMUM
1. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-Undang Dasar
1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia telah menyatakan, bahwa
Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu
rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Menurut Undang-undang Dasar 1945 Negara kita berdasarkan :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan;
5. Keadilan Sosial.
Sebagai dasar pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa bukan saja meletakkan
dasar moral diatas Negara dan Pemerintah, tetapi juga memastikan adanya
kesatuan Nasional yang berasas keagamaan. Pengakuan sila pertama (Ke-
Tuhanan Yang Maha Esa) tidak dapat dipisah-pisahkan dengan Agama, karena
adalah salah satu tiang pokok daripada perikehidupan manusia dan bagi bangsa
Indonesia adalah juga sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mutlak
dalam usaha nation-building.
2. Telah teryata, bahwa pada akhir-akhir ini hampir diseluruh Indonesia tidak sedikit
timbul aliran-aliran atau Organisasiorganisasi kebatinan/kepercayaan
masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama.
Diantara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut
sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum,
memecah persatuan Nasional dan menodai Agama. Dari kenyataan teranglah,
bahwa aliran-aliran atau Organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan
masyarakat yang menyalah-gunakan dan/atau mempergunakan Agama sebagai
pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang kearah
yang sangat membahayakan Agama-agama yang ada.
3. Untuk mencegah berlarut-larutnya hal-hal tersebut diatas yang dapat
membahayakan persatuan Bangsa dan Negara, maka dalam rangka
kewaspadaan Nasional dan dalam Demokrasi Terpimpin dianggap perlu
dikeluarkan Penetapan Presiden sebagai realisasi Dekrit Presiden tanggal 5 Juli
1959 yang merupakan salah satu jalan untuk menyalurkan ketata-negaraan dan
keagamaan, agar oleh segenap rakyat diseluruh wilayah Indonesia ini dapat
dinikmati ketenteraman beragama dan jaminan untuk menunaikan ibadah
menurut Agamanya masing-masing.
4. Berhubung dengan maksud memupuk ketenteraman beragama inilah, maka
Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi
penyelewengan-penyelewengan dari ajaranajaran agama yang dianggap
sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan
(pasal 1-3); dan kedua kalinya aturan ini melindungi ketenteraman beragama
tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk
agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa/(Pasal 4).
5. Adapun penyelewengan-penyelewengan keagamaan yang nyatanyata
merupakan pelanggaran pidana dirasa tidak perlu diatur lagi dalam peraturan ini,
oleh karena telah cukup diaturnya dalam berbagai-bagai aturan pidana yang
telah ada. Dengan Penetapan Presiden ini tidaklah sekali-kali dimaksudkan
hendak mengganggu gugat hak hidup Agama-gama yang sudah diakui oleh
Pemerintah sebelum Penetapan Presiden ini diundangkan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Dengan kata-kata "Dimuka Umum" dimaksudkan apa yang lazim diartikan dengan
kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Agama-agama yang
dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama agama di Indonesia.
Karena 6 macam Agama ini adalah agama-gama yang dipeluk hampir seluruh
penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan
oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan
dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.
Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto,
Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang
diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan
lain.
Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah
pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai
dengan ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6.
Dengan kata-kata "Kegiatan keagamaan" dimaksudkan segala macam kegiatan yang
bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama,
mempergunakan istilah-istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran
kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok ajaran
agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alatalat/
cara-cara untuk menyelidikinya.
Pasal 2
Sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap orang-orang ataupun
penganut-penganut sesuatu aliran kepercayaan maupun anggota atau anggota
Pengurus Organisasi yang melanggar larangan tersebut dalam pasal 1, untuk
permulaannya dirasa cukup diberi nasehat seperlunya.
Apabila penyelewengan itu dilakukan oleh organisasi atau penganutpenganut aliran
kepercayaan dan mempunyai effek yang cukup serius bagi masyarakat yang
beragama, maka Presiden berwenang untuk membubarkan organisasi itu dan untuk
menyatakan sebagai organisasi atau aliran terlarang dengan akibat-akibatnya (jo
pasal 169 K.U.H.P.).
Pasal 3
Pemberian ancaman pidana yang diatur dalam pasal ini, adalah tindakan lanjutan
terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan tersebut, dalam pasal 2.
Oleh karena aliran kepercayaan biasanya tidak mempunyai bentuk seperti
organisasi/perhimpunan, dimana mudah dibedakan siapa pengurus dan siapa
anggotanya, maka mengenai aliran-aliran kepercayaan, hanya penganutnya yang
masih terus melakukan pelanggaran dapat dikenakan pidana, sedang pemuka aliran
sendiri yang menghentikan kegiatannya tidak dapat dituntut.
Mengingat sifat idiil dari tindak pidana dalam pasal ini, maka ancaman pidana 5 tahun
dirasa sudah wajar.
Pasal 4
Maksud ketentuan ini telah cukup dijelaskan dalam penjelasan umum diatas. Cara
mengeluarkan persamaan atau melakukan perbuatan dapat dilakukan dengan lisan,
tulisan ataupun perbuatan lain.
Huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan disini, ialah yang semata-mata (pada
pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina.
Dengan demikian, maka, uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara
obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha
untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat
permusuhan atau penghinaan, bukanlah tinak pidana menurut pasal ini.
Huruf b, Orang yang melakukan tindak pidana tersebut disini, disamping
mengganggu ketentraman orang beragama, pada dasarnya menghianati sila pertama
dari Negara secara total, dan oleh karenanya adalah pada tempatnya, bahwa
perbuatannya itu dipidana sepantasnya.
Pasal 5
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2726.
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 140/PUU-VII/2009 tentang UU PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA
” Pembatasan Atas Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan”
I. PARA PEMOHON
1. Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), selanjutnya disebut sebagai Pemohon I;
2. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),selanjutnya disebut sebagai Pemohon II
3. Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), selanjutnya disebut sebagai Pemohon III;
4. Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), selanjutnya disebut sebagai Pemohon IV;
5. Perkumpulan Masyarakat Setara, selanjutnya disebut Pemohon V;
6. Yayasan Desantara (Desantara Foundation), selanjutnya disebut sebagai Pemohon VI;
7. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), selanjutnya disebut sebagai Pemohon VII;
8. K.H. Abdurahman Wahid, selanjutnya disebut sebagai Pemohon VIII;
9. Prof. DR. Musdah Mulia, selanjutnya disebut sebagai Pemohon IX;
10. Prof. M. Dawam Rahardjo, selanjutnya disebut sebagai Pemohon X;
11. KH. Maman Imanul Haq, selanjutnya disebut sebagai Pemohon XI.
KUASA HUKUM
Asfinawati, S.H., Siti Aminah, S.H., Hermawanto, S.H., M. Choirul Anam, S.H., Syamsul Alam Agus, S.H., Edy Halomoan Gurning. S.H., Sinung Karto, S.H., Kiagus Ahmad Bs, S.H., Zainal Abidin, S.H., Nurkholis, S.H., Muhammad Isnur, S.H., Adam M. Pantouw, S.H., Sidik S.Hi., Alghiffari Aqsa, S.H., Intan Kumala Sari, S.H., Diah Kurniati, S.H., Tommy Albert Tobing, S.H., Vicky Sylvanie, S.H., Ilham Harjuna, S.H.., M. Arfiandi Fauzan, S.H., Tabrani Abby, S.H., M.Hum., Andi Muttaqien, S.H., Abdul Haris, S.H., Judianto Simanjuntak,S.H., Yanrino Sibuea, S.H., Poengky Indarti, S.H. Ll.M., Wahyu Wagiman, S.H., Aqil Sukheri, S.H, Uli Parulian Sihombing, S.H. Ll.M., Indria Fernida, S.H., Fulthoni, S.H., Ali Akbar Tanjung, S.H., Ali Nursahid, S.H., Chrisbiantoro,S.H., Indriaswati D. Saptaningrum, S.H., Ll.M., Putri Kanesia, S.H., Edwin Partogi, S.H., Muhammad Ali Fernandez, S.Hl., Yati Andriyani, S.H., Anggara, S.H., Totok Yuli Yanto, S.H., Ratnaning Wulandari, S.H., Nimram Abdurrahman, S.H., Maruli Tua Raja Gukguk, S.H., Pratiwi Febry, S.H., Reza Dimas D. S.H., R. Dwiyanto Prihartono, S.H., Pablo, Christalo, S.H., M.A. Nur Hariandi, S.H., Carolina S. Martha, S.H., Saor Siagian, S.H., Nopemmerson, S.H., Bhathara Ibnu Reza, S.H Ll.M., Supriyadi Widodo Eddyono, S.H., Febi Yonesta, S.H., dan Restaria F. Hutabarat, S.H.kesemuanya adalah Advokat dan Pengabdi Bantuan Hukum, tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama, dengan domisili hukum di Jl. Diponegoro Nomor 74, Jakarta Pusat.
II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI :
Pemohon dalam permohonan sebagaimana dimaksud menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama adalah :
⌧ Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
⌧ Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ”menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
III. KEDUDUKAN PEMOHON (LEGAL STANDING)
Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka orang atau pihak dimaksud haruslah;
a. menjelaskan kedudukannya dalam permohonannya, yaitu apakah yang sebagai perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga negara;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf (a), sebagai akibat diberlakukannya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Atas dasar ketentuan tersebut Pemohon perlu terlebih dahulu menjelaskan kedudukannya, hak konstitusi yang ada pada Pemohon, beserta kerugian spesifik yang akan dideritanya sebagai berikut:
Para Pemohon merupakan badan hukum privat dan perseorangan yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
IV. NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI
A. NORMA MATERIIL
Sebanyak 5 (lima) norma, yaitu :
1. Pasal 1
“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegitan agama itu, penafsiran dan kegaitan.”.
2. Pasal 2 ayat (1)
“Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.”.
3. Pasal 2 ayat (2)
“Apabila pelangaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.”.
4. Pasal 3
“Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.”.
5. Pasal 4a
“Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 156 a:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”
B. NORMA UUD 1945 SEBAGAI ALAT UJI
Sebanyak 9 (sembilan) norma, yaitu :
1. Pasal 1 ayat (3)
“Negara Indonesia adalah negara hukum.”
2. Pasal 27 ayat (1)
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
3. Pasal 28D ayat (1)
"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.".
4. Pasal 28E ayat (1)
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. “
5. Pasal 28E ayat (2)
“Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
6. Pasal 28E ayat (3)
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”
7. Pasal 28I ayat (1)
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
8. Pasal 28I ayat (2)
“Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
9. Pasal 29 ayat (2)
“Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
V. Alasan-Alasan Pemohon Dengan Diterapkan UU a quo Bertentangan Dengan UUD 1945.
1. Bahwa prinsip persamaan dalam hukum (equality before the law) adalah adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Prinsip ini juga dapat dimaknai bahwa tidak ada hukum yang istimewa. Jaminan prinsip ini dinyatakan dalam UUD 1945 misalnya dalam Pasal 27 ayat (1) yaitu “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, Pasal 28D ayat (1) yaitu “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di depan hukum”, dan Pasal 28I ayat (2) yang menyatakan “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakukan yang diskriminatif itu;
Bahwa selain bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pasal a quo juga bertentangan dengan Hak memeluk agama, beribadat, meyakini keyakinan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945;
2. Bahwa Pasal 1 UU a quo menunjukan adanya pembedaan dan/atau pengutamaan terhadap enam agama antara lain: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu, dibandingkan dengan agama-agama atau aliran keyakinan lainnya. Hal mana merupakan bentuk kebijakan diskriminatif yang dilarang. Dengan demikian jelas bahwa Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
3. Bahwa oleh karena substansi Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 bertentangan dengan UUD 1945, maka dengan sendirinya ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU a quo sebagai hukum proseduralnya, menjadi bertentangan pula dengan UUD 1945. Tanpa hal itu pun, sesungguhnya Pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945;
4. Bahwa Pasal 2 ayat (2) UU No.1/PNPS/1965 bertentangan dengan prinsip negara hukum karena prosedur pembubaran organisasi dimaksud bertentangan dengan prinsip toleransi, keragaman, dan pemikiran terbuka. Proses pembubaran organisasi dan pelarangan organisasi, seharusnya dilakukan melalui proses peradilan yang adil, independen dan terbuka, dengan mempertimbangkan hak atas kebebasan beragama, keragaman dan toleransi;
5. Bahwa dengan demikian, Pasal 3, dan hubungannya dengan Pasal 1 dan 2 UU a quo nyata-nyata membatasi kebebasan mereka yang beragama atau berkeyakinan selain keenam agama yang dilindungi, penghayat Kepercayaan, dan kelompok atau aliran minoritas dalam keenam agama tersebut. Hal ini bertentangan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana yang dilindungi dalam Pasal 28 E ayat (1) dan (2), Pasal 28 I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945;
6. Bahwa Pasal 4 huruf a UU No. 1/PNPS/1965 bertentangan dengan jaminan kebebasan di atas. Hal ini dikarenakan rumusan Pasal 4 huruf a UU a quo membuat pelaksanaannya mengharuskan diambilnya satu tafsir tertentu dalam agama tertentu untuk menjadi batasan permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan terhadap agama. Berpihaknya negara/pemerintah kepada salah satu tafsir tertentu adalah diskriminasi terhadap aliran/tafsir lain yang hidup pula di Indonesia. Karenanya hal ini bertentangan dengan hak persamaan di muka hukum Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, Hak atas kebebasan beragana, meyakini keyakinan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
VI. PETITUM
1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang Para Pemohon;
2. Menyatakan ketentuan Pasal 1 UU No.IIPNPS/1965 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 29 ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
3. Menyatakan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No.IIPNPS/1965 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), serta Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;
4. Menyatakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No.1/PNPS/1965 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), serta Pasal 28E ayat (3) UUD 1945;
5. Menyatakan ketentuan Pasal 3 UU No.IIPNPS/1965 bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945;
6. Menyatakan ketentuan Pasal 4a UU No.1/PNPS11965 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 29 ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
7. Menyatakan ketentuan Pasal 1, Pasal 2 ayat (1) dan (2), Pasal 3, Pasal 4a UU No.IIPNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Resume/resume_Permohonan%20Perkara%20140%20%20UU%20Penodaan%20Agama.pdf