Sabtu, 13 Maret 2010

Sembilan Ketidak-otentikan Yudhoyono

Oleh: Eep Saefulloh Fatah

Mengapa dalam beberapa bulan terakhir dinamika politik Indonesia berkembang dengan begitu mencemaskan? Beberapa kasus, seperti kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah) serta Bank Century, tak terkelola secara layak.

Ada banyak faktor yang terlibat dan ada banyak kemungkinan jawaban atas pertanyaan itu. Namun, salah satu faktor yang berperan besar adalah absennya kepemimpinan kuat yang mampu menyelesaikan segenap urusan dengan tegas dan lekas.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belakangan ini tampil secara kurang meyakinkan. Sekalipun bukan penentu semua hal, Presiden berperan membuat sejumlah kasus berkembang menjadi meriam liar yang mengancam kita.

Sebagai warga negara yang berhak memiliki harapan kepada pejabat publik setingkat Presiden, saya menyaksikan Yudhoyono terancam oleh krisis kepemimpinan dan krisis otentisitas. Keduanya saling sokong membangun postur politik Presiden yang kurang meyakinkan.

Popularitas dan etika

Ada setidaknya sembilan ketidak-otentikan Yudhoyono. Pertama, pada awal masa kerjanya (2004), Yudhoyono menegaskan, ”Saya tak peduli pada soal popularitas.” Nyatanya, ia amat sangat peduli pada popularitas sepanjang kepemimpinannya. Untuk kebijakan tak populer, sekalipun sangat diperlukan secara teknokratis, ia cenderung membiarkan Wakil Presiden M Jusuf Kalla maju pasang badan. Untuk kebijakan populer, ia lekas-lekas memasang badannya sendiri.

Kedua, di tengah ramainya rapat Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century, Yudhoyono menyatakan, ”Demokrasi memerlukan kesantunan.” Nyatanya, ia biarkan ketidaksantunan dilakukan secara permanen oleh politisi partainya sendiri, Partai Demokrat, seperti diperlihatkan Ruhut Sitompul. Padahal, kendali atas partai itu hampir sepenuhnya ada di tangan Yudhoyono.

Ketiga, menghadapi berbagai tantangan terhadap pemerintahannya, ia kerap menegaskan bahwa ia tak perlu reaktif terhadap para pengkritiknya. Nyatanya, ia sangat reaktif dalam banyak kasus. Presiden Yudhoyono kerap merespons secara kurang matang berbagai persoalan.

Keempat, Yudhoyono kerap mengajak masyarakat untuk bersandar pada etika. Nyatanya, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan ia kerap melakukan pelanggaran etika yang sangat elementer, terutama dengan membiarkan pejabat di bawah kewenangannya untuk bertanggung jawab atas kebijakan eksekutif yang pembuatannya jelas-jelas melibatkan kewenangan dan tanggung jawab presiden. Dalam kasus Bank Century, pidato Yudhoyono selepas Rapat Paripurna DPR yang menegaskan bahwa dirinya bertanggung jawab adalah sebuah sikap tegas yang kasip.

Mafia peradilan

Kelima, di tengah maraknya kasus Bibit-Chandra, Presiden menyerukan, ”Ganyang mafia peradilan!” Nyatanya, ia tak melakukan langkah sigap dan tegas selepas terungkapnya mafia peradilan melalui penayangan rekaman percakapan pengusaha Anggodo Widjojo dengan sejumlah pejabat dalam sidang Mahkamah Konstitusi. Bahkan, ketika namanya beberapa kali disebut dalam percakapan itu, ia bergeming, seolah-olah memandang itu bukan persoalan.

Keenam, masih segar dalam ingatan kita, Yudhoyono menangis mendengar laporan wakil korban luapan lumpur Sidoardjo. Nyatanya, ia tak membuat langkah yang tegas dan lekas untuk menyelesaikan kasus luapan lumpur ini.

Ketujuh, Yudhoyono kerap menandaskan bahwa langkah-langkah yang diambilnya adalah langkah yang matang, penuh pertimbangan, terukur, dan saksama. Nyatanya, ia senang berputar-putar seperti orang tersesat serta terkesan ragu-ragu dan lamban. Contoh paling krusial dan aktual soal ketidakmatangan langkahnya adalah ketika kantor kepresidenan mempermalukan Presiden secara tandas dalam kasus batalnya pelantikan dua wakil menteri (Anggito Abimanyu dan Fahmi Idris). Sementara penanganan kasus Bibit-Chandra dan Bank Century menggarisbawahi keragu-raguan dan kelambanannya.

Kedelapan, Yudhoyono kerap menyebut perlunya pemerintahan yang bekerja secara profesional berbasiskan kompetensi. Nyatanya, Kabinet Indonesia Bersatu II—sebagaimana dikritik banyak sekali kalangan—gagal mencerminkan itu.

Kesembilan, Susilo Bambang Yudhoyono kerap menyebutkan bahwa reformasi birokrasi adalah salah satu agenda kerja yang hendak ia prioritaskan dan segerakan dalam termin kedua pemerintahannya. Nyatanya, ia menjadi Presiden Indonesia Era Reformasi yang paling ”sukses” menambunkan birokrasi pemerintahan. Bagaimana publik bisa berharap lebih jauh jika agenda reformasi birokrasi yang elementer ini saja gagal diwujudkannya?

Itulah catatan saya. Boleh jadi Anda bertanya mengapa saya seperti tukang keluh berhadapan dengan Presiden; mengapa saya senang benar mengkritik Yudhoyono. Saya mengkritik Yudhoyono bukan lantaran membencinya, melainkan lantaran ia Presiden saya.

Yudhoyono adalah seorang pejabat publik. Sebagai bagian dari publik, saya berhak untuk berharap kepadanya. Adalah tugas saya untuk membantunya dengan mengingatkan hal-hal yang belum tercapai. Sebab, di sekeliling Yudhoyono sudah terlampau banyak orang yang terus-menerus mencatat dan melaporkan (hanya) keberhasilannya.



EEP SAEFULLOH FATAH, CEO Polmark Indonesia, Political Marketing Consulting

Sumber: Kompas.com (9/3/2010)

Selasa, 09 Maret 2010

10 ALASAN MENOLAK OBAMA , PRESIDEN NEGARA PENJAJAH

1. Obama adalah kepala negara dari negara penjajah Amerika Serikat bertentangan dengan     sikap politik Indonesia yang anti penjajahan 

2. Kedatangan Obama untuk memastikan dan mengokohkan Indonesia sebagai negara kapitalis sekuler yang telah menjadi sumber berbagai persoalan di Indonesia.

3. Kedatangan Obama untuk mengokohkan penjajahan ekonomi lewat perusahaan Amerika yang merampok kekayaan alam Indonesia di Aceh, Riau, hingga Papua.

4. Kedatangan Obama merupakan sebagai bagian dari politik belah bambu di dunia Islam yang menampilkan citra positif Amerika untuk menutupi kejahatannya di negeri Islam lainnya.

5. Obama memerangi kaum muslimin di Afghanistan bahkan mengirim 30 ribu pasukan tambahan yang telah menewaskan ribuan umat Islam termasuk anak-anak dan ibu-ibu.

6. Obama tidak sepenuhnya menarik pasukan AS dari Irak yang selama pendudukan AS telah membunuh lebih 1 juta umat Islam

7. Obama hingga saat ini belum menutup penjara Guantanamo sesuai dengan janjinya yang menjadi tempat penahanan dan penyiksaan banyak muslim yang tidak bersalah dan tempat penghinaan terhadap Islam dan Al Qur’an

8.Obama dengan setia menjadi pendukung setia Zionis Israel yang hingga saat ini terus membantai umat Islam di Palestina.

9. Obama tidak mengecam sama sekali ketika Israel membantai lebih kurang 1300 muslim di Gaza sebaliknya bahkan mendukung tindakan kejam Zionis Israel itu

10.Status negara Amerika adalah Muhariban Fi’lan karena secara langsung membunuh umat Islam, haram melakukan hubungan dalam bentuk apapun. Islam mengharamkan kaum muslimin menyambut pembunuh umat Islam yang merupakan musuh Allah SWT dan musuh Umat Islam apalagi menjadikannya sebagai sahabat dan tamu terhormat


Kamis, 04 Maret 2010

TOLAK JUDICAL REVIEW AKKBB ATAS UU NO 1/PNPS/1965

Akhir-akhir ini perhatian public terpusat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Walau issue nya tidak se heboh bank century akan tetapi masalah ini sangatlah penting untuk di kawal, karena menyangkut akhlak umat islam. Issue yang menjadi perhatian adalah judicial review yang dilakukan oleh Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). AKKBB berpandangan bahwa UU no 1/PNPS/ 1965 mengenai penodaan agama sudah tidak relevan lagi di gunakan di republic ini. Karena undang-undang tersebut sangat kontras dengan pasal 28 E ayat 1. Undang-undang tersebut juga tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia dan hak kebebasan individu. AKKBB berpendapat bahwa Negara tidak boleh mengatur akhlak atas rakyatnya, karena itu adalah urusan setiap individu masing-masing.

Pada UU no 1/PNPS/1965 menyatakan bahwa “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan.”. Dan apabila hal tersebut masih terjadi maka akan di pidanakan dengan kurungan maksimal 5 tahun penjara.

Undang-undang inilah yang menjadi senjata kaum muslim untuk menghindari aliran-aliran yang menyimpang dari islam. Fakta yang terjadi saat ini bahwa meskipun undang-undang tersebut masih berlaku akan tetapi aliran-aliran sesat masih saja bermunculan dan masih banyak orang-orang yang mengaku dirinya adalah nabi. Sekarang bisa dibayangkan apabila Mahkamah Konstitusi mengoalkan permohonan AKKBB tersebut. Bukan hanya aliran sesat atau nabi palsu yang akan muncul, mungkin akan muncul seseorang yang mengaku bahwa dirinya adalah TUHAN.

Argument AKKBB untuk melakukan judicial review atas undang-undang tersebut sangatlah menyakiti umat islam. Memang benar bahwa setiap individu diberi kebebasan untuk memeluk agama atau kepercayaan yang dia inginkan, dan juga Negara haruslah memberi kebebasan kepada individu tersebut untuk melaksanakan ibadahnya. Akan tetapi, kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang mempunyai batasan, bukan nya kebebasan yang sebebas-bebasnya.

Di dalam islam sudah di tegaskan bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad SAW adalah utusan Nya. Islam juga meyakini bahwa Muhammad SAW adalah nabi terakhir dan penutup dan tidak ada nabi setelah nya. Dan semua umat islam diwajibkan untuk tetap berpegang teguh kepada Al Quran dan Hadist sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan.

Sangatlah konyol apabila ada orang yang mengaku nabi, utusan malaikat jibril, atau mengotak-ngatik hukum yang sudah diwajibkan di dalam islam. Apakah kita memberikan toleransi kepada mereka? Mungkin jawabnya IYA apabila kelompok tersebut tidak mengatasnamakan islam.

Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi haruslah menolak permohonan AKKBB untuk melakukan judicial review atas undang-undang no 1/PNPS/1965 karena bisa dibayangkan apa yang akan terjadi apabila MK meloloskan permohonan mereka. Umat muslim akan kehilangan payung hukum untuk menjaga kemurnian islam. Dan dampak dari hal tersebut adalah akan terjadi ‘’hukum jalanan’’ dimana umat islam akan membuat hukuman sendiri guna meng eksekusi para penoda ajaran islam.

 

 

PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965

TENTANG

PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka pengamanan Negara dan Masyarakat, citacita

Revolusi Nasional dan pembangunan Nasional Semesta

menuju ke masyarakat adil dan makmur, perlu mengadakan

peraturan untuk mencegah penyalah-gunaan atau penodaan

agama;

 

b. bahwa untuk pengamanan revolusi dan ketentuan masyarakat,

soal ini perlu diatur dengan Penetapan Presiden;

 

Mengingat :

 1. pasal 29 Undang-undang Dasar;

2. pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang Dasar;

3. penetapan Presiden No. 2 tahun 1962 (Lembara-Negara tahun

1962 No. 34);

4. pasal 2 ayat (1) Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960;

 

 

 

 

 

 

 

MEMUTUSKAN:

 

Menetapkan :

PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG

PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN

AGAMA.

Pasal 1

 

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan

atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu

agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang

menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan

mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

 

 

Pasal 2

 

(1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan

peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu

keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam

Negeri.

(2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau

sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat

membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut

sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat

pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam

Negeri.

 

 

 

 

Pasal 3

 

Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama

Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik

Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, Organisasi atau aliran

kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang,

penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari

aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.

 

Pasal 4

 

Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi

sebagai berikut:

"Pasal 156a

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan

sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan

terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang

bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa."

 

 

Pasal 5

 

Penetapan Presiden Republik Indonesia ini mulai berlaku pada hari diundangkannya.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan

Penetapan Presiden Republik Indonesia ini dengan penempatan dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia.

 

 

 

Ditetapkan di Jakarta

     pada tanggal 27 Januari 1965.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUKARNO

 

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 27 Januari 1965

SEKRETARIS NEGARA,

MOHD. ICHSAN.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1965 NOMOR 3.

 

PENJELASAN

ATAS

PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965

TENTANG

PENCEGAHAN PENYALAH-GUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA

 

 

I. UMUM

1. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-Undang Dasar

1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia telah menyatakan, bahwa

Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu

rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.

Menurut Undang-undang Dasar 1945 Negara kita berdasarkan :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa;

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;

3. Persatuan Indonesia;

4. Kerakyatan;

5. Keadilan Sosial.

Sebagai dasar pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa bukan saja meletakkan

dasar moral diatas Negara dan Pemerintah, tetapi juga memastikan adanya

kesatuan Nasional yang berasas keagamaan. Pengakuan sila pertama (Ke-

Tuhanan Yang Maha Esa) tidak dapat dipisah-pisahkan dengan Agama, karena

adalah salah satu tiang pokok daripada perikehidupan manusia dan bagi bangsa

Indonesia adalah juga sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mutlak

dalam usaha nation-building.

 

2. Telah teryata, bahwa pada akhir-akhir ini hampir diseluruh Indonesia tidak sedikit

timbul aliran-aliran atau Organisasiorganisasi kebatinan/kepercayaan

masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama.

Diantara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut

sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum,

memecah persatuan Nasional dan menodai Agama. Dari kenyataan teranglah,

bahwa aliran-aliran atau Organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan

masyarakat yang menyalah-gunakan dan/atau mempergunakan Agama sebagai

pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang kearah

yang sangat membahayakan Agama-agama yang ada.

 

3. Untuk mencegah berlarut-larutnya hal-hal tersebut diatas yang dapat

membahayakan persatuan Bangsa dan Negara, maka dalam rangka

kewaspadaan Nasional dan dalam Demokrasi Terpimpin dianggap perlu

dikeluarkan Penetapan Presiden sebagai realisasi Dekrit Presiden tanggal 5 Juli

1959 yang merupakan salah satu jalan untuk menyalurkan ketata-negaraan dan

keagamaan, agar oleh segenap rakyat diseluruh wilayah Indonesia ini dapat

dinikmati ketenteraman beragama dan jaminan untuk menunaikan ibadah

menurut Agamanya masing-masing.

 

4. Berhubung dengan maksud memupuk ketenteraman beragama inilah, maka

Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi

penyelewengan-penyelewengan dari ajaranajaran agama yang dianggap

sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan

(pasal 1-3); dan kedua kalinya aturan ini melindungi ketenteraman beragama

tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk

agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa/(Pasal 4).

 

5. Adapun penyelewengan-penyelewengan keagamaan yang nyatanyata

merupakan pelanggaran pidana dirasa tidak perlu diatur lagi dalam peraturan ini,

oleh karena telah cukup diaturnya dalam berbagai-bagai aturan pidana yang

telah ada. Dengan Penetapan Presiden ini tidaklah sekali-kali dimaksudkan

hendak mengganggu gugat hak hidup Agama-gama yang sudah diakui oleh

Pemerintah sebelum Penetapan Presiden ini diundangkan.

 

 

 

II. PASAL DEMI PASAL

 

 

Pasal 1

 

Dengan kata-kata "Dimuka Umum" dimaksudkan apa yang lazim diartikan dengan

kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Agama-agama yang

dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan

khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama agama di Indonesia.

 

Karena 6 macam Agama ini adalah agama-gama yang dipeluk hampir seluruh

penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan

oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan

dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.

 

Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto,

Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang

diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan

lain.

 

Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah

pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai

dengan ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6.

Dengan kata-kata "Kegiatan keagamaan" dimaksudkan segala macam kegiatan yang

bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama,

mempergunakan istilah-istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran

 

kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok ajaran

agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alatalat/

cara-cara untuk menyelidikinya.

 

 

Pasal 2

 

Sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap orang-orang ataupun

penganut-penganut sesuatu aliran kepercayaan maupun anggota atau anggota

Pengurus Organisasi yang melanggar larangan tersebut dalam pasal 1, untuk

permulaannya dirasa cukup diberi nasehat seperlunya.

 

Apabila penyelewengan itu dilakukan oleh organisasi atau penganutpenganut aliran

kepercayaan dan mempunyai effek yang cukup serius bagi masyarakat yang

beragama, maka Presiden berwenang untuk membubarkan organisasi itu dan untuk

menyatakan sebagai organisasi atau aliran terlarang dengan akibat-akibatnya (jo

pasal 169 K.U.H.P.).

 

 

Pasal 3

 

Pemberian ancaman pidana yang diatur dalam pasal ini, adalah tindakan lanjutan

terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan tersebut, dalam pasal 2.

 

Oleh karena aliran kepercayaan biasanya tidak mempunyai bentuk seperti

organisasi/perhimpunan, dimana mudah dibedakan siapa pengurus dan siapa

anggotanya, maka mengenai aliran-aliran kepercayaan, hanya penganutnya yang

masih terus melakukan pelanggaran dapat dikenakan pidana, sedang pemuka aliran

sendiri yang menghentikan kegiatannya tidak dapat dituntut.

Mengingat sifat idiil dari tindak pidana dalam pasal ini, maka ancaman pidana 5 tahun

dirasa sudah wajar.

 

 

Pasal 4

 

Maksud ketentuan ini telah cukup dijelaskan dalam penjelasan umum diatas. Cara

mengeluarkan persamaan atau melakukan perbuatan dapat dilakukan dengan lisan,

tulisan ataupun perbuatan lain.

 

Huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan disini, ialah yang semata-mata (pada

pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina.

Dengan demikian, maka, uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara

obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha

untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat

permusuhan atau penghinaan, bukanlah tinak pidana menurut pasal ini.

 

Huruf b, Orang yang melakukan tindak pidana tersebut disini, disamping

mengganggu ketentraman orang beragama, pada dasarnya menghianati sila pertama

dari Negara secara total, dan oleh karenanya adalah pada tempatnya, bahwa

perbuatannya itu dipidana sepantasnya.

 

Pasal 5

 

Cukup jelas.

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2726.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 140/PUU-VII/2009 tentang UU PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA

Pembatasan Atas Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan

 

 

I. PARA PEMOHON

1. Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), selanjutnya disebut sebagai Pemohon I;

2. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),selanjutnya disebut sebagai Pemohon II

3. Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), selanjutnya disebut sebagai Pemohon III;

4. Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), selanjutnya disebut sebagai Pemohon IV;

5. Perkumpulan Masyarakat Setara, selanjutnya disebut Pemohon V;

6. Yayasan Desantara (Desantara Foundation), selanjutnya disebut sebagai Pemohon VI;

7. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), selanjutnya disebut sebagai Pemohon VII;

8. K.H. Abdurahman Wahid, selanjutnya disebut sebagai Pemohon VIII;

9. Prof. DR. Musdah Mulia, selanjutnya disebut sebagai Pemohon IX;

10. Prof. M. Dawam Rahardjo, selanjutnya disebut sebagai Pemohon X;

11. KH. Maman Imanul Haq, selanjutnya disebut sebagai Pemohon XI.

 

KUASA HUKUM

Asfinawati, S.H., Siti Aminah, S.H., Hermawanto, S.H., M. Choirul Anam, S.H., Syamsul Alam Agus, S.H., Edy Halomoan Gurning. S.H., Sinung Karto, S.H., Kiagus Ahmad Bs, S.H., Zainal Abidin, S.H., Nurkholis, S.H., Muhammad Isnur, S.H., Adam M. Pantouw, S.H., Sidik S.Hi., Alghiffari Aqsa, S.H., Intan Kumala Sari, S.H., Diah Kurniati, S.H., Tommy Albert Tobing, S.H., Vicky Sylvanie, S.H., Ilham Harjuna, S.H.., M. Arfiandi Fauzan, S.H., Tabrani Abby, S.H., M.Hum., Andi Muttaqien, S.H., Abdul Haris, S.H., Judianto Simanjuntak,S.H., Yanrino Sibuea, S.H., Poengky Indarti, S.H. Ll.M., Wahyu Wagiman, S.H., Aqil Sukheri, S.H, Uli Parulian Sihombing, S.H. Ll.M., Indria Fernida, S.H., Fulthoni, S.H., Ali Akbar Tanjung, S.H., Ali Nursahid, S.H., Chrisbiantoro,S.H., Indriaswati D. Saptaningrum, S.H., Ll.M., Putri Kanesia, S.H., Edwin Partogi, S.H., Muhammad Ali Fernandez, S.Hl., Yati Andriyani, S.H., Anggara, S.H., Totok Yuli Yanto, S.H., Ratnaning Wulandari, S.H., Nimram Abdurrahman, S.H., Maruli Tua Raja Gukguk, S.H., Pratiwi Febry, S.H., Reza Dimas D. S.H., R. Dwiyanto Prihartono, S.H., Pablo, Christalo, S.H., M.A. Nur Hariandi, S.H., Carolina S. Martha, S.H., Saor Siagian, S.H., Nopemmerson, S.H., Bhathara Ibnu Reza, S.H Ll.M., Supriyadi Widodo Eddyono, S.H., Febi Yonesta, S.H., dan Restaria F. Hutabarat, S.H.kesemuanya adalah Advokat dan Pengabdi Bantuan Hukum, tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama, dengan domisili hukum di Jl. Diponegoro Nomor 74, Jakarta Pusat.

II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI :

Pemohon dalam permohonan sebagaimana dimaksud menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama adalah :

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ”menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

III. KEDUDUKAN PEMOHON (LEGAL STANDING)

Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka orang atau pihak dimaksud haruslah;

a. menjelaskan kedudukannya dalam permohonannya, yaitu apakah yang sebagai perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga negara;

b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf (a), sebagai akibat diberlakukannya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

Atas dasar ketentuan tersebut Pemohon perlu terlebih dahulu menjelaskan kedudukannya, hak konstitusi yang ada pada Pemohon, beserta kerugian spesifik yang akan dideritanya sebagai berikut:

Para Pemohon merupakan badan hukum privat dan perseorangan yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

IV. NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI

A. NORMA MATERIIL

Sebanyak 5 (lima) norma, yaitu :

1. Pasal 1

“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegitan agama itu, penafsiran dan kegaitan.”.

2. Pasal 2 ayat (1)

“Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.”.

3. Pasal 2 ayat (2)

“Apabila pelangaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.”.

4. Pasal 3

“Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.”.

5. Pasal 4a

Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 156 a:

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”

B. NORMA UUD 1945 SEBAGAI ALAT UJI

Sebanyak 9 (sembilan) norma, yaitu :

1. Pasal 1 ayat (3)

Negara Indonesia adalah negara hukum.”

 

2. Pasal 27 ayat (1)

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

3. Pasal 28D ayat (1)

"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.".

4. Pasal 28E ayat (1)

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. “

5. Pasal 28E ayat (2)

“Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”

6. Pasal 28E ayat (3)

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”

 

 

7. Pasal 28I ayat (1)

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

8. Pasal 28I ayat (2)

“Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

9. Pasal 29 ayat (2)

“Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

 

V. Alasan-Alasan Pemohon Dengan Diterapkan UU a quo Bertentangan Dengan UUD 1945.

1. Bahwa prinsip persamaan dalam hukum (equality before the law) adalah adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Prinsip ini juga dapat dimaknai bahwa tidak ada hukum yang istimewa. Jaminan prinsip ini dinyatakan dalam UUD 1945 misalnya dalam Pasal 27 ayat (1) yaitu “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, Pasal 28D ayat (1) yaitu “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di depan hukum”, dan Pasal 28I ayat (2) yang menyatakan “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakukan yang diskriminatif itu;

Bahwa selain bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pasal a quo juga bertentangan dengan Hak memeluk agama, beribadat, meyakini keyakinan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945;

2. Bahwa Pasal 1 UU a quo menunjukan adanya pembedaan dan/atau pengutamaan terhadap enam agama antara lain: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu, dibandingkan dengan agama-agama atau aliran keyakinan lainnya. Hal mana merupakan bentuk kebijakan diskriminatif yang dilarang. Dengan demikian jelas bahwa Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

3. Bahwa oleh karena substansi Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 bertentangan dengan UUD 1945, maka dengan sendirinya ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU a quo sebagai hukum proseduralnya, menjadi bertentangan pula dengan UUD 1945. Tanpa hal itu pun, sesungguhnya Pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945;

4. Bahwa Pasal 2 ayat (2) UU No.1/PNPS/1965 bertentangan dengan prinsip negara hukum karena prosedur pembubaran organisasi dimaksud bertentangan dengan prinsip toleransi, keragaman, dan pemikiran terbuka. Proses pembubaran organisasi dan pelarangan organisasi, seharusnya dilakukan melalui proses peradilan yang adil, independen dan terbuka, dengan mempertimbangkan hak atas kebebasan beragama, keragaman dan toleransi;

5. Bahwa dengan demikian, Pasal 3, dan hubungannya dengan Pasal 1 dan 2 UU a quo nyata-nyata membatasi kebebasan mereka yang beragama atau berkeyakinan selain keenam agama yang dilindungi, penghayat Kepercayaan, dan kelompok atau aliran minoritas dalam keenam agama tersebut. Hal ini bertentangan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana yang dilindungi dalam Pasal 28 E ayat (1) dan (2), Pasal 28 I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945;

6. Bahwa Pasal 4 huruf a UU No. 1/PNPS/1965 bertentangan dengan jaminan kebebasan di atas. Hal ini dikarenakan rumusan Pasal 4 huruf a UU a quo membuat pelaksanaannya mengharuskan diambilnya satu tafsir tertentu dalam agama tertentu untuk menjadi batasan permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan terhadap agama. Berpihaknya negara/pemerintah kepada salah satu tafsir tertentu adalah diskriminasi terhadap aliran/tafsir lain yang hidup pula di Indonesia. Karenanya hal ini bertentangan dengan hak persamaan di muka hukum Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, Hak atas kebebasan beragana, meyakini keyakinan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

 

 

 

VI. PETITUM

 

1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang Para Pemohon;

 

2. Menyatakan ketentuan Pasal 1 UU No.IIPNPS/1965 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 29 ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

 

3. Menyatakan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No.IIPNPS/1965 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), serta Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;

 

4. Menyatakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No.1/PNPS/1965 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), serta Pasal 28E ayat (3) UUD 1945;

 

5. Menyatakan ketentuan Pasal 3 UU No.IIPNPS/1965 bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945;

 

6. Menyatakan ketentuan Pasal 4a UU No.1/PNPS11965 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 29 ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

 

7. Menyatakan ketentuan Pasal 1, Pasal 2 ayat (1) dan (2), Pasal 3, Pasal 4a UU No.IIPNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.

 

 

 

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Resume/resume_Permohonan%20Perkara%20140%20%20UU%20Penodaan%20Agama.pdf