Sabtu, 23 Oktober 2010

Catatan Jambi I

Beberapa minggu sudah saya berada di kota Jambi. Banyak sekali yg berubah dari kota ini. Ada yang positive dan ada pula yang negative.

Saya bisa merasakan pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang sangat cepat di Jambi. Mall mall sudah banyak yang dibangun. Para investor sudah banyak yang datang, tekhnologi yang berkembang, dan pemikiran masyarakatnya pun sudah banyak yang maju (intelek).

Namun begitu, ada hal yang sangat disayangkan. Kemajuan Jambi juga dibarengi oleh masuknya paham kebebasan (liberalisme) ala barat yang menggiring masyarakat ini, khususnya pemuda. Tahun lalu, saya sangat merasakan culture timur yang masih sangat kental. Masyarakatnya masih bersikap ramah, penuh toleransi, kekeluargaan, sopan dan santun. Intinya adalah, tahun lalu, Jambi masih menjadi kota yang tentram dan penuh ketenangan.

Sekarang hal-hal tersebut perlahan hilang. Kota ini seakan brutal. Suara knalpot motor sangat bising. Kemacetan mulai timbul, dan yang sangat ekstrim (menurut saya) adalah perubahan dari tingkah polah para wanitanya. Mereka sudah tidak malu-malu lagi untuk berpakaian minim mengumbar aurat. Mereka sudah tidak segan-segan lagi bermesraan (zina) ditempat umum. Bahkan (saya belum menyaksikan langsung), banyak yang mengatakan bahwa sudah banyak hotel-hotel yang menyediakan layanan short time check in. Dan mayoritas pemesannya adalah kalangan muda mudi.

Ada sebuah patokan penilaian mengenai keadaan/kondisi suatu masyarakat (society). Baik buruknya suatu masyarakat bisa dilihat dari kondisi wanitanya.
Kalau menilai dari kacamata tersebut, maka saya menyimpulkan sekarang ini, bahwa kota Jambi sudah diambang kebobrokan. Karena lebih banyak wanita bobrok dari pada yang baik (mungkin yang baik sudah menyingkir ke desa).

Saya harap penilaian saya terhadap Jambi salah. Saya harap Jambi masih seperti dahulu, dimana masyarakatnya masih memegang teguh adat Istiadat dan agama.
Mudah-mudahan penglihatan saya mengenai wanita-wanita ''pemberani'' dan semakin menjamurnya club-club malam, tempat karoke dan panti pijat gak jelas hanyalah fatamorgana.
Mudah-mudahan Jambi tak separah yang saya kira. Karena Jambi saja yang kota kecil sudah begini bebas, bagaimana jadinya dengan kota-kota besar seperti, Medan, Palembang, Yogyakarta, Bandung bahkan Jakarta.