Kamis, 15 April 2010

Seputar Bid'ah


Soal: pada satu pertemuan kami mendiskusikan masalah bid’ah secara istilah. Sebagian dari kami mengatakan bahwa bid’ah itu mencakup semua bentuk yang menyalahi ketentuan asy-Syâri’. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud bid’ah itu hanya penyimpangan ketentuan asy-Syâri’ dalam ibadah… Kami mohon penjelasan masalah ini? Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda.

Jawab:

Perintah-perintah asy-Syâri’ itu ada dua jenis:

Jenis pertama, dinyatakan redaksi perintah disertai penjelasan tata cara menunaikan perintah tersebut, yaitu langkah-langkah praktis untuk mengimplementasikan. Misalnya Allah SWT berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ

Dan dirikanlah shalat (QS al-Baqarah [2]: 43)

Ini adalah redaksi perintah. Akan tetapi manusia tidak dibiarkan untuk shalat sesuai keinginannya, melainkan datang nash-nash lain yang menjelaskan tata cara menunaikan shalat mulai takbiratul ihram, berdiri, membaca al-Fatihah, ruku’, I’idal, sujud… Demikian juga Allah berfirman:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ

dan mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah (QS Ali ‘Imran [3]: 97)

ini adalah redaksi perintah untuk menunaikan haji “berupa redaksi berita dalam makna tuntutan”, kemudian terdapat nash-nash yang menjelaskan tata cara menunaikan perintah berhaji itu…

Jenis kedua, dinyatakan redaksi perintah yang bersifat umum atau mutlak tanpa disertai penjelasan tata cara menunaikannya. Artinya tanpa penjelasan langkah-langkah praktis untuk menunaikannya.

Misalnya sabda Rasulullah saw:

«مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ [أخرجه البخاري]

Siapa saja yang melakukan salaf pada sesuatu hendaklah dalam takaran dan timbangan tertentu sampai jangka waktu tertentu (HR Bukhari)

Di sini terdapat perintah melakukan jual beli salam “salaf” dengan redaksi kalimat syarat. Beliau memerintahkan agar jual beli salam itu dilakukan pada takaran, timbangan, dan jangka waktu tertentu. Akan tetapi asy-Syâri’ tidak menjelaskan tata cara langkah-angkah pelaksanaannya, seperti dua orang yang berakad hendaknya duduk berhadapan, dan membaca sesuatu dari al-Quran, kemudian melangkah ke depan, saling memeluk satu sama lain, kemudian saling menyeru dalam masalah jual beli salam … dan setelah itu baru dilakukan ijab dan qabul…

Contoh lain, sabda Rasulullah saw:

« الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ » [البخاري ومسلم]

Emas dengan emas adalah riba kecuali tunai (HR Muslim)

«الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ»[البخاري ومسم]

Emas dengan emas harus sama, dirham dengan dirham harus sama (HR Bukhari dan Muslim)

Ini merupakan perintah “redaksi berita dalam makna tuntutan”. Akan tetapi tidak dijelaskan tata cara langkah-langkah praktis untuk pertukran itu seperti yang kami sebutkan sebelumnya.

Contoh lainnya, telah sahih bahwa Rasul saw telah memerintahkan untuk berdiri ketika ada jenazah yang lewat. Akan tetapi Beliau tidak menjelaskan tata cara langkah-langkah praktis berdiri itu seperti yang kami jelaskan pada contoh pertama.

Begitulah, jadi terdapat perintah-perintah asy-Syâri’ dan bersamanya dinyatakan pula langkah-langkah praktis untuk menunaikannya. Dan juga terdapat perintah-perintah asy-Syâri’ yang dinyatakan secara mutlak atau secara umum tanpa disertai langkah-langkah praktis terperinci tata cara menunaikannya.

Penyimpangan perintah asy-Syâri’ yang untuknya dinyatakan tata cara penunaiannya secara istilah disebut bid’ah, karena dilakukan tidak menurut tata cara yang telah dijelaskan oleh asy-Syâri’.

Jadi bid’ah secara bahasa seperti dinyatakan di dalam Lisân al-‘Arab: orang yang mengada-adakan (al-mubtadi’) adalah orang yang mendatangkan suatu perkara yang belum pernah ada contohnya… Mengada-adakan sesuatu (abda’at asy-syay’a): membuatnya tidak berdasarkan contoh sebelumnya.

Dan bid’ah secara istilah demikian pula, yaitu penyimpangan tata cara syar’i yang telah dijelaskan oleh syara’ untuk menunaikan suatu perintah syar’i. Dan ini adalah makna yang ditunjukkan oleh hadis berikut.

« وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ » [البخاري ومسلم]

Siapa saja yang melakukan satu perbuatan yang tidak ada ketentuan kami tentangnya maka tertolak (HR Bukhari dan Muslim)

Begitulah, jika orang bersujud tiga kali di dalam shalatnya, bukannya dua kali saja, maka itu bid’ah. Siapa saja yang melempar jumrah di Mina sebanyak delapan lemparan bukannya tujuh lemparan maka ia telah melakukan bid’ah… Dan semua bid’ah merupakan kesesatan, dan setiap kesesatan di dalam neraka, yaitu bahwa dia berdosa karena perbuatannya itu.

Menyalahi perintah syara’ yang tidak memiliki tata cara tertentu, maka itu masuk di dalam cakupan hukum-hukum syara’. Jadi dikatakan ia haram, atau makruh, atau mubah jika berupa seruan taklif (khithâb at-taklîf). Atau dikatakan batil atau fasid … jika berupa seruan wadh’i (khithâb al-Wadh’i). Hal itu sesuai indikasi (qarinah) yang menyertai perintah tersebut dari sisi tegas, penguatan atau pilihan.

Pada contoh kami yang pertama, siapa yang melakukan salaf “yaitu mengakadkan akad salam” dengan menyalahi perintah asy-Syâri’ yaitu tanpa takaran, timbangan dan tempo tertentu, maka tidak dikatakan bahwa dia melakukan bid’ah. Melainkan dikatakan bahwa akad yang menyalahi perintah asy-Syâri’ tersebut adalah batil atau fasid sesuai jenis penyimpangannya.

Pada contoh kedua, jika menyalahi perintah asy-Syâri’ “emas dengan emas kontan dan sama”, yaitu seandainya seorang laki-laki mempertukarkan emas dengan emas dengan cara menyalahi perintah asy-Syâri’ yaitu tidak sama dan tidak kontan, maka tidak dikatakan bahwa ia mendatangkan bid’ah karena menyalahi perintah tersebut. Melainkan dikatakan ia melakukan keharaman dengan melakukan muamalah ribawi.

Juga menyalahi perintah berdiri ketika ada jenazah lewat dan ia tetap duduk, tidak dikatakan bahwa itu bid’ah. Tetapi dikatakan bahwa itu adalah mubah karena nash-nash syara’ menyatakan dua kondisi. Imam Muslim mengeluarkan hadis dari Ali bin Abi Thalib ra., ia berkata:

«قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَعَدَ» [مسلم]

Rasulullah saw berdiri kemudian Beliau duduk (HR Muslim)

Begitu pula terkait penyimpangan perintah asy-Syâri’:

«فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ» [البخاري]

Pilihlah yang memiliki kebaikan agama niscaya engkau akan selamat (HR Bukhari)

Penyimangan terhadap perintah ini tidak dikatakan sebagai bid’ah. Akan tetapi dipelajari hukum syara’ berkaitan dengan pernikahan dengan wanita yang tidak memiliki kebaikan agama. Hal itu karena tidak dijelaskan langkah-langkah praktis dalam memilih, misalnya apakah orang yang meminang itu berdiri di depan wanita itu, membaca ayat kursi, lalu melangkah ke depan satu langkah dan membaca surat al-Falaq dan an-Nas, kemudian melangkah satu langkah lagi dan membaca basmalah, kemudian mengulurkan tangan kanannya dan menyampaikan pinangan…

Demikian juga sabda Rasul saw:

«يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ هَذَا الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ» [أبو داود وأحمد]

Wahai para pedagang sesungguhnya jual beli ini dihadiri oleh ungkapan berlebihan dan sumpah maka siramlah dengan sedekah (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Sabda itu Beliau sampaikan kepada para pedagang akibat mereka banyak bersumpah. Maka asy-Syâri’ tidak menjelaskan langkah-langkah rinci untuk menunaikan perintah “siramlah”. Atas dasar itu maka tidak dikatakan bahwa siapa yang menjual dan menggunakan sumpah, jika ia tidak jujur, tidak dikatakan bahwa ia telah mendatangkan bid’ah. Melainkan dipelajari hukum syara’ berkaitan dengan ketidakjujuran pedagang yang mengucapkan sumpah pada saat berjual beli itu.

Begitulah berkaitan dengan penyimpangan perintah-perintah yang asy-Syâri’ tidak mendatangkan tata caranya secara terperinci untuk menunaikannya.

Dengan melakukan elaborasi terhadap nash-nash syara’ didapati bahwa pada sebagian besar ibadah dinyatakan tata cara untuk menunaikan perintah asy-Syâri’ tersebut, yaitu langkah-langkah praktis untuk menerapkan perintah asy-Syâri’ itu. Karena itu bid’ah tidak terjadi dalam selain ibadah. Karena hanya ibadah sajalah yang di dalamnya dinyatakan langkah-langkah praktis untuk menerapkan perintah asy-Syâri’.

Kami katakan sebagian besar ibadah, karena sebagian ibadah, tentangnya tidak dinyatakan langkah-langkah praktis implementasinya. Misalnya, jihad. Meski jihad adalah ibadah, namun perintah-perintahnya dinyatakan secara mutlak atau bersiat umum.

قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ

Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu (QS at-Tawbah [9]: 123)

جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ

Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. (QS at-Tawbah [9]: 73)

Perintah-perintah tersebut tidak terdapat nash-nash yang menjelaskan tata cara pelaksanaannya. Tidak terdapat misalnya tata cara memerangi itu seperti apa, misalnya dengan membaca ayat-ayat, mengirimkan pengintai, melangkah satu langkah ke depan, kemudian bergerak ke kanan … begitulah. Karena itu, siapa saja yang tidak berjihad pada waktu yang ditetapkan untuk berjihad, tidak dikatakan ia mendatangkan bid’ah. Melainkan dikatakan ia melakukan keharaman karena tidak turut berjihad.

Ringkasnya bahwa penyimpangan perintah asy-Syâri’ yang asy-Syâri’ jelaskan tata cara penunaiannya, maka penyimpangan itu merupakan bid’ah. Sedangkan penyimpangan perintah asy-Syâri’ yang bersifat mutlak atau bersifat umum, yang asy-Syâri’ tidak menjelaskan tata cara penunaiannya maka penyimpangan itu terjadi pada hukum syara’ “taklif –haram, makruh, mubah” atau “wadh’iy –batil, fasad”.

Dan karena dengan melakukan elaborasi ditemukan bahwa kebanyakan ibadah di dalamnya dinyatakan tata cara penunaiannya, atas dasar itu penyimpangan yang terjadi di dalam ibadah masuk dalam kategori bid’ah.

Sedangkan dalil-dalil mumalah atau jihad… maka dinyatakan secara mutlak atau umum, atas dasar itu penyimpangan yang terjadi di dalamnya masuk dalam bab hukum syara’ “taklif: haram, makruh, mubah” atau “wadh’iy: batil, fasad”.

(sumber : Situs Amir Hizbut Tahrir ; http://hizb-ut-tahrir.info)

Sejarah April Mop

Tiap tanggal 1 April, ada saja orang—terutama anak-anak muda—yang merayakan hari tersebut dengan membuat aneka kejutan atau sesuatu keisengan. April Fools Day, demikian orang Barat menyebut hari tanggal 1 April atau lebih popular disebut sebagai ‘April Mop’. Namun tahukah Anda jika perayaan tersebut sesungguhnya berasal dari sejarah pembantaian tentara Salib terhadap Muslim Spanyol yang memang didahului dengan upaya penipuan? Inilah sejarahnya yang disalin kembali sebagiannya dari buku “Valentine Day, Natal, Happy New Year, April Mop, Halloween: So What?” (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2005) SEJARAH APRIL MOP

Perayaan April Mop yang selalu diakhiri dengan kegembiraan dan kepuasan itu sesungguhnya berawal dari satu tragedi besar yang sangat menyedihkan dan memilukan. April Mop atau The April’s Fool Day berawal dari satu episode sejarah Muslim Spanyol di tahun 1487 atau bertepatan dengan 892 H. Sebelum sampai pada tragedi tersebut, ada baiknya menengok sejarah Spanyol dahulu ketika masih di bawah kekuasaan Islam.

Sejak dibebaskan Islam pada abad ke-8 M oleh Panglima Thariq bin Ziyad, Spanyol berangsur-angsur tumbuh menjadi satu negeri yang makmur. Pasukan Islam tidak saja berhenti di Spanyol, namun terus melakukan pembebasan di negeri-negeri sekitar menuju Perancis. Perancis Selatan dengan mudah bisa dibebaskan. Kota Carcassone, Nimes, Bordeaux, Lyon, Poitou, Tours, dan sebagainya jatuh. Walau sangat kuat, pasukan Islam masih memberikan toleransi kepada suku Goth dan Navaro di daerah sebelah Barat yang berupa pegunungan.

Islam telah menerangi Spanyol. Karena sikap para penguasa Islam begitu baik dan rendah hati, maka banyak orang-orang Spanyol yang kemudian dengan tulus dan ikhlas memeluk Islam. Muslim Spanyol bukan hanya beragama Islam, namun mereka sungguh-sungguh mempraktekkan kehidupan secara Islami. Mereka tidak hanya membaca Al-Qur’an tapi juga bertingkah laku berdasarkan Al-Qur’an. Mereka selalu berkata tidak untuk musik, bir, pergaulan bebas, dan segala hal yang dilarang Islam. Keadaan tenteram seperti itu berlangsung hampir enam abad lamanya.

Selama itu pula kaum kafir yang masih ada di sekeliling Spanyol tanpa kenal lelah terus berupaya membersihkan Islam dari Spanyol, namun mereka selalu gagal. Telah beberapa kali dicoba tapi selalu tidak berhasil. Dikirimlah sejumlah mata-mata untuk mempelajari kelemahan umat Islam di Spanyol. Akhirnya mata-mata itu menemukan cara untuk menaklukkan Islam di Spanyol, yakni pertama-tama harus melemahkan iman mereka dulu dengan jalan serangan pemikiran dan budaya.

Maka mulailah secara diam-diam mereka mengirim alkohol dan rokok secara gratis ke dalam wilayah Spanyol. Musik diperdengarkan untuk membujuk kaum mudanya agar lebih suka bernyanyi dan menari ketimbang baca Qur’an. Mereka juga mengirim sejumlah ulama palsu yang kerjanya meniup-niupkan perpecahan di dalam tubuh umat Islam Spanyol. Lama-kelamaan upaya ini membuahkan hasil.

Akhirnya Spanyol jatuh dan bisa dikuasai pasukan Salib. Penyerangan oleh pasukan Salib benar-benar dilakukan dengan kejam tanpa mengenal peri kemanusiaan. Tidak hanya pasukan Islam yang idbantai, juga penduduk sipil, wanita, anak-anak kecil, orang-orang tua, semuanya dihabisi dengan sadis.

Satu persatu daerah di Spanyol jatuh, Granada adalah daerah terakhir yang ditaklukkan. Penduduk-penduduk Islam di Spanyol (juga disebut orang Moor) terpaksa berlindung di dalam rumah untuk menyelamatkan diri. Tentara-tentara Kristen terus mengejar mereka.

Ketika jalan-jalan sudah sepi, tinggal menyisakan ribuan mayat yang bergelimpangan bermandikan genangan darah, tentara Salib mengetahui bahwa banyak Muslim Granada yang masih bersembunyi di rumah-rumah. Dengan lantang tentara Salib itu meneriakkan pengumuman, bahwa para Muslim Granada bisa keluar dari rumah dengan aman dan diperbolehkan berlayar keluar dari Spanyol dengan membawa barang-barang keperluan mereka. “Kapal-kapal yang akan membawa kalian keluar dari Spanyol sudah kami persiapkan di pelabuhan. Kami menjamin keselamatan kalian jika ingin keluar dari Spanyol, setelah ini maka kami tidak lagi memberikan jaminan!” demikian bujuk tentara Salib.

Orang-orang Islam masih curiga dengan tawaran ini. Beberapa dari orang Islam diperbolehkan melihat sendiri kapal-kapal penumpang yang sudah dipersiapkan di pelabuhan. Setelah benar-benar melihat ada kapal yang sudah dipersiapkan, maka mereka segera bersiap untuk meninggalkan Granada bersama-sama menuju ke kapal-kapal tersebut. Mereka pun bersiap untuk berlayar.

Keesokan harinya, ribuan penduduk Muslim Granada yang keluar dari rumah-rumahnya dengan membawa seluruh barang-barang keperluannya beriringan jalan menuju pelabuhan. Beberapa orang Islam yang tidak mempercayai tentara Salib bertahan dan terus bersembunyi di rumah-rumahnya. Setelah ribuan umat Islam Spanyol berkumpul di pelabuhan, dengan cepat tentara Salib menggeledah rumah-rumah yang telah itinggalkan penghuninya. Lidah api terlihat menjilat-jilat angkasa ketika para tentara Salib itu membakari rumah-rumah tersebut bersama orang-orang Islam yang masih bertahan di dalamnya.

Sedang ribuan umat Islam yang tertahan di pelabuhan hanya bisa terpana ketika tentara Salib juga membakari kapal-kapal yang dikatakan akan mengangkut mereka keluar dari Spanyol. Kapal-kapal itu dengan cepat tenggelam. Ribuan umat Islam tidak bisa berbuat apa-apa karena sama sekali tidak bersenjata. Mereka juga kebanyakan terdiri dari para perempuan dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Sedang tentara Salib itu telah mengepung mereka dengan pedang terhunus.

Dengan satu teriakan dari pemimpinnya, ribuan tentara Salib itu segera membantai dan menghabisi umat Islam Spanyol tanpa perasaan belas kasihan. Jerit tangis dan takbir membahana. Dengan buas tentara Salib terus membunuhi warga sipil yang sama sekali tidak berdaya.

Seluruh Muslim Spanyol di pelabuhan itu habis dibunuh dengan kejam. Darah menggenang di mana-mana. Laut yang biru telah berubah menjadi merah kehitam-hitaman. Tragedi ini bertepatan dengan tanggal 1 April. Inilah yang kemudian diperingati oleh dunia Kristen setiap tanggal 1 April sebagai April Mop (The Aprils Fool Day).

Bagi umat Islam April Mop tentu merupakan tragedi yang sangat menyedihkan. Hari di mana ribuan saudara-saudaranya seiman disembelih dan dibantai oleh tentara Salib di Granada, Spanyol. Sebab itu, adalah sangat tidak pantas jika ada orang Islam yang ikut-ikutan merayakan tradisi ini. Sebab dengan ikut merayakan April Mop, sesungguhnya orang-orang Islam itu ikut bergembira dan tertawa atas tragedi tersebut. Siapa pun orang Islam yang turut merayakan April Mop, maka ia sesungguhnya tengah merayakan ulang tahun pembunuhan massal ribuan saudara-saudaranya di Granada, Spanyol, beberapa abad silam.(rizki)

Sumber: Eramuslim

April Mop Merupakan Perayaan Pembantaian Umat Islam, Tak Pantas Dirayakan

Umat Islam sangat tidak pantas merayakan “April Mop” atau “The April Fool Day” karena kebiasaan itu dilatarbelakangi peringatan peristiwa pembantaian umat Islam di Spanyol pada 1 April 1487 Masehi.

“Umat Islam banyak yang “latah” dan merayakan April Mop tanpa mengetahui dasar dan asal muasal peristiwa tersebut, ” kata Cendikiawan Muslim Ir.H.Asmara Dharma dalam tulisannya yang dirilis, di Medan, kemarin.

Ia menjelaskan, perayaan April Mop itu diawali peristiwa penyerangan besar-besaran oleh tentara Salib terhadap negara Spanyol yang ketika itu di bawah kekuasaan kekhalifahan Islam pada Maret 1487 Masehi.

Kota-kota Islam di Spanyol seperti Zaragoza dan Leon di wilayah Utara, Vigo dan Forto di wilayah Timur, Valencia di wilayah Barat, Lisabon dan Cordoba di Selatan serta Madrid di pusat kota dan Granada sebagai kota pelabuhan berhasil dikuasai tentara Salib.

Umat Islam yang tersisa dari peperangan itu dijanjikan kebebasan jika meninggalkan Spanyol dengan kapal yang disiapkan di pelabuhan Granada. Tentara Salib itu berjanji keselamatan dan memperbolehkan umat Islam menaiki kapal jika mereka meninggalkan Spanyol dan persenjataan mereka.

Namun, ketika ribuan umat Islam sudah berkumpul di pelabuhan, kapal yang tadinya sandar di pelabuhan langsung dibakar dan kaum muslim dibantai dengan kejam sehingga air laut menjadi merah karena darah.

Peristiwa pembantaian dan pengingkaran janji tersebut terjadi pada 1 April 1487 Masehi dan dikenang sebagai “The April Fool Day.”

Selanjutnya, Dharma menjelaskan, peristiwa “The April Fool Day” itu dipopulerkan menjadi April Mop dengan “ritual” boleh mengerjai, menipu dan menjahili orang lain pada tanggal tersebut tetapi bernuansa gembira.

“Ritual tersebut disyaratkan dengan tidak bolehnya orang yang ditipu dan dijahili itu marah dan membalas, ” katanya. (novel/ant)

Sumber: Eramuslim